Jumat, 26 April 2013

CATATAN HARIAN

 Tagihan SPP
Mencoba untuk bertanggung jawab........Hari itu aku dipanggil Bapak Kepala Sekolah, karena belum membayar uang SPP selama tiga bulan. Setelah ditanya berbagai macam, aku jawab dengan berbagai kebohongan. Akhirnya surat bersampul putih yang ada stempel itu diberikan saya untuk disampaikan kepada orang tua.

Perasaan takut ada, karena bermacam pertanyaan dalam hati saya. Surat kubuka, kubaca ...isinya ternyata rasa takut terbuka jelas. Isi surat tersebut memberikan penjelasan bahwa saya belum membayar uang sekolah selama tiga bulan, dalam waktu 15 hari diberikan kesempatan untuk melunasi. Surat kumasukkan lagi ke sampul dan aku menyimpulkan hari itu tidak pulang karena takut dimarah bapak.

Aku mampir ke rumah kos temanku. Setelah makan seadanya aku meminjam baju kaos dan memberitahu temanku, bahwa aku mau ke Jakarta selama seminggu. Ku buat surat izin untuk disampaikan pada pihak sekolah. Surat kutitipkan temanku dan berangkatlah aku ke stasiun untuk tujuan ke Jakarta, resiko apa yang akan kutemui tidak terbersit sedikitpun dalam benakku. Aku nekat, tanpa tiket dan uang mencoba untuk ke kota besar yang belum pernah aku ketahui dimana pakdeku bekerja. Yang kutahu beliau di BNI 1946 Jakarta Pusat hanya karena alamat di kertas.

Setelah hampir tujuh jam, sepulang sekolah keretapun berangkat kurang lebih pukul 20.00 WIB. Aku duduk di gerbang keempat dari depan. Kegelisahan awal hadir beberapa menit kemudian ketika di belakang sana ada beberapa petugas menanyakan tiket kereta. Disaat memasuki gerbang tempat aku duduk, aku menghindar menuju kamar kecil. Sepuluh menit berada didalamnya, rasanya kondektur sudah menuju gerbang depanku, aku mencoba keluar. Plong .........hatiku terbebas dari perasaan bersalah. Rasa kantuk dan lapar tidak begitu mengganguku tetapi perasaan gelisah yang terus mendera.
Setelah dua tiga jam kulalui, ternyata hadir lagi petugas yang melakukan aktivitas sama seperti tadi. Fikiranku mencoba untuk menuntunku lagi ke kamar WC, mungkin itu cara yang tepat untuk menghindari petugas tersebut. Dua kali aksiku tidak menggagalkan niatku sampai Jakarta.

Mendadak ketemu hal yang sama dikala terjaga dari rasa kantuk. Petugas memasuki gerbangku untuk yang ketiga kalinya.
Aku mencoba untuk menuju gerbang belakangku disana berhadapan dengan kondektur yang sedang melakukan tugasnya. Di depan mereka aku ditanya, " Mau kemana dik ? " dengan kutenangkan perasaanku aku menjawab dengan santai, " Mau minta minum pak, ibu dan bapak disana..... " sambil berjalan aku berlagak tak bersalah. Nampaknya masih juga mujur, lolos lagi.

Tidak tahu sudah sampai mana, kurang lebih waktu itu sekitar pukul tiga pagi. Mataku ngantuk tetapi aku takut ketahuan kondektur sebagai penumpang gelap. Kuputuskan naik ke atas gerbang. Disela-sela gerbang ada deklit yang saya dengar biasa dipakai untuk anak-anak stasiun bila bepergian. Aku duduk disana.
Berapa menit mata ini terpejam, kudengar suara orang pada turun, ternyata stasiun Gambir. Akupun ikut turun, entah masih jauh atau dekat ke alamat yang kucari tetapi perasaanku mengajakku untuk mengikuti kegiatan penumpang lain. Kuperhatikan para penumpang berbaris menuju pintu keluar, disana disambut petugas pemeriksa tiket. Aku tidak buru-buru keluar. Kumanfaatkan duduk di peron berfikir harus bagaimana
sambil menahan rasa perihnya perut dan kepala sedikit pening.
Inspirasi datang, ketika anak usia 9 tahunan menjajakan koran.
Kuajak duduk dan ngobrol sebentar menanyakan sudah berapa lama sebagai pengecer koran, sekolah kelas berapa dan berbagai hal yang mungkin bisa membawa saya bisa keluar dari peron stsiun tanpa kecurigaan petugas.
Akhirnya kucoba tawarkan cara untuk menjajakan koran agar cepat laku. Anak itu percaya. Kucoba separuh sambil menuju pintu keluar, kutawarkan kepada penumpang yang akan keluar stasiun. Aku berlari menunggu di luar pintu. Dalam hati tidak lakupun yang penting saya dengan mudah berada di luar stasiun tanpa kendala sedikitpun. Setelah berbasa basi menawarkan koran pagi itu kepada penumpang yang keluar masuk stasiun, ternyata ada 7 eksemplar laku kujual. Anak pemilik koran tadi ada juga pemasukan.

Kuserahkan hasil yang kuperoleh dan melanjutkan rencana menuju alamat, namun dengan langkah apa kesana. Uang paling hanya cukup untuk sekali makan, itu saja yang tersisa dari uang sekolah yang tidak kubayarkan. Kutemui tukang bajai dengan gaya yang meyakinkan, kutunjukkan kertas yang berisi alamat, kuceritakan bahwa bisa tidak bisa harus kutemui bapakku (seharusnya pakdeku. red) dengan alasan sudah tiga bulan tidak pernah pulang. Ternyata bohong enak looh, sebab berkali-kali bohong bisa membuat orang lain kasihan dan mau mengantarkan aku ke tujuan.

Aku diantar sampai halaman parkir tempat pakdeku bertugas. Dengan berbekal pakaian seragam sekolah yang kusut dan berbau, tanpa mandi juga tidak gosok gigi harus kuberanikan menemui bebarapa orang yang berpenampilan parlente. Rasa takut, malu, lapar, sakit, dan berbagai macam perasaan kusingkirkan hanya ingin satu tujuan, ternyata resepsionis yang didampngi Satpam dan Polisi mau menerimaku dengan ramah.
Diantarkan aku menemui pakdeku dengan pelayanan yang sangat baik tak ada kesan jelek yang kulihat.

Setelah mempersilakan aku menunggu di tempat duduk bapak Satpam yang usianya sekitar 45 tahunan itu meninggalkanku. Perasaan bingung dan takut mulai mencabik-cabik batinku. Dibawah sana tidak lagi terlihat bajai yang kutumpangi, padahal aku janji setelah diberi uang bapakku (seharusnya pakdeku Red) akan kubayar sesuai perjanjian. Tetapi sopir itu tidak terlihat baik di lapangan parkir atau di jalan. Menunggu dimana ? Mendadak aku ditanya seseorang mau menemui siapa. Saya disuruhnya masuk.

Pakdeku menerima dengan roman muka masam, mungkin menahan bermacam perasaan. Aku sudah siap itu semua, karena sudah kuyakini bahwa aku bisa membuat malu pakde dengan penampilanku yang tidak rapi, bau dan acak-acakan. Seperti dikejar waktu dan pekerjaan,pakdeku segera mengajukan pertanyaan " Ngapain kemari Jok ? ", sulit aku menjawabnya hanya rasa takut dan malu yang membuatku mataku menangis. Disela tangis itu aku menjawab tersendat " Mau minta uang pakde untuk bayar uang sekolah ". Tanpa jawaban, pakde meninggalkanku. Hanya sekitar dua menit sudah keluar dan memberiku satu amplop. " Mampir dulu ke Bogor, bawa ini. Jangan pulang sebelum pakde sampai rumah. Dah sana......! "
Setelah kubuka meyakinkan didalam amplop itu berisi uang aku keluar. " Maaf pakde, terimakasih ...." Kucium tangan beliau dan menahan air mataku mengalir. Malu yang berlebihan.

Kuambil satu lembar uang sepuluh ribuan, yang belum pernah saya temui seusiaku waktu itu ( 18 tahun ) untuk kugunakan diperjalanan, yang lainnya kumasukkan kedalam kaos dalam karena aku tidak bawa apa-apa kecuali kantong plastik berisi satu baju kaos.

Aku kembali Ke stasiun Gambir naik bajai lagi tetapi bukan bajai yang tadi kutumpangi. Melanjutkan naik KRL ke Stasiun Bogor. Tanpa halangan yang berarti aku sampai ke rumah pakde.
Budheku yang dirumah sudah mengetahui aku mau kesini. Nampaknya juga kurang bersahabat. Aku tidak merasa nyaman, sampai makanpun kurang terasa enak. Saya pingin tidur melepas seluruh perasaan.

Pukul 21.00 pakdhe sampai rumah. Karena siang sudah tidur agak lama, malam itu aku sempat ngobrol setelah pakdheku makan. Ditanya banyak hal, kujawab dengan jujur tanpa aku tutupi. Pakdhe dan bu dheku bisa memaklumi. Beberapa nasehatpun bisa ku peroleh. Sebagai pegangan yang sampai saat ini selalu kucoba untuk kehidupanku dan keluargaku. Kejujuran amat penting, apapun resikonya. Semoga cerita yang pernah kualami ini juga bisa jadi referensi anda.
sampai rumah, bapak sudah siap pasang kuda-kuda. Menungguku pulang, mungkin sesuatu yang menjemukan atau menahan amarah yang begitu lama karena empat hari tepatnya aku sampai Klaten.

Mungkin begitu kebanyakan orang tua, belum memasuki pintu tinju bapak sudah mendarat di pipi kiriku. Aku terpelanting jatuh. Belum sempat bangun kaki beliau menendang paha kiriku. Aduuuuuuuuuuh aku mau berdiri tidak bisa. Dijambaknya rambutku ditariknya ke kamar mandi dan diguyur air diember bekas cucian piring. Entah apa yang ada dalam benak bapak, kenapa beliau begitu marahnya. Padahal belum pernah sekeji itu bapak, meskipun sekali dua kali aku pernah kena tinjunya.

Setelah aku basah kuyup beliau masuk rumah. Sambil menahan rasa sakit aku langsung nimba air sumur kuguyur seluruh tubuh. Ibu mendekatiku sambil membawakan handuk, sabun dan sikat gigi. Sambil menggerutu. Plastik yang didepan pintu kuberitahukan ibu, kalau ada uangnya titipan pakde buat bapak. Ibuku menghampiri dan memungutnya. Sambil menunggu selesai mandi, ibu duduk dibawah pohon pepaya ( sekarang jadi ruang dapur )

Belum ganti pakaian aku temui bapak. Aku minta maaf, bapak diam tidak menjawab. Tetapi beliau kelihatan ada wajah menyesal. Aku duduk di kaki beliau tanpa bicara sepatahpun. Syukurlah bapak berkenan bicara. Beliau memegang pundakku. " Yo wis rapopo, wis ndang nganggo klambi....."

Di meja makan sudah ada nasi, sayur tomis kangkung dan belut goreng. Aku disuruhnya makan oleh ibu setelah ganti baju. Sambil makan ibu memberiku nasehat, kalau mau kemana harus minta izin. Kalau ada apa-apa orang tua mengetahui. Kata ibu, bapak kemarin dapat telepon dari kantor, katanya aku ke Jakarta. Ibu dan bapak terheran-heran disamping uang saku darimana juga mengenai tujuanku ke Jakarta. Pakde juga bilang nitip uang untuk beaya sekolahku 100.000. ( waktu itu SPP ku Rp.450,- / bulan ) separuhnya untuk simbah.
Saya menyadari bapak memang tipe pemarah, apalagi kalau perasaan beliau tersinggung. Rupanya berita yang bapak dengar dari pakde itu membuat beliau tersinggung berat. Tetapi ya syukurlah bapakku juga tipe penyayang. Hari ini boleh marah tetapi hari besok cepat kembali normal. Uang sekolah yang belum terbayar, tidak boleh saya bawa. Bapak akkan ke sekolahku membayarnya sendiri katanya bapak mau minta maaf juga dengan kepala sekolah.

Sepulang sekolah bapak bercerita tentang pertemuannya dengan Kepala Sekolah. Beliau minta maaf kalau tiga bulan belum membayar bukan kesalahan anak, tetapi ketidakmampuan orang tua ( Itu yang disampaikan bapak kepada bapak Kepala Sekolah )
................... yach bagaimana kita bisa menjadi bapak yang bijak ???????????? ayo belajar.


Buruh Lepas
Aku pernah dimintai tolong untuk ngecat rumah, meskipun tidak terampil tetapi hasilnya cukup memuaskan buktinya hari ini aku diajak kerja memborong ngecat RSUP Tegalyoso Klaten.
Hari pertama sampai hari kelima, tugasku membuang cat tempat tidur pasien dengan air soda dan mengampelas sampai bersih. Adapun yang ngecat temanku. Entah ada apa hanya dua hari ketemu, selanjutnya tidak pernah nongol lagi akhirnya pemborongku terjun langsung mengecat barang-barang itu.
Hari ke enam aku disuruh bergabung ke ruangan pasien ngecat tembok dengan kompresor, setelah alat-alat di dalamnya saya keluarkan sementara pasien yang ada disitu untuk sementara dipindahkan ke ruangan lain.
Yang paling berkesan yaitu bukan hanya rambut di kepala, kumis dan alisku berubah putih kena uap cat, sehingga setiap keluar ruangan banyak orang tersenyum memperhatikanku. Beruntungnya banyak juga kerja disitu, makanan yang ada di almari kebanyakan diikhlaskan untuk dimakan para buruh cat dan sisanya selalu ada, bisa dibawa ke rumah untuk oleh-oleh.
Hampir setiap hari aku pulang seperti orang sukses. Pulang kerja dan oleh-oleh bisa membuat adik-adikku gembira.
Ada juga yang memberiku sugesti keberanian, disaat memindahkan mayat keruangan lain karena kamar mayat akan dibersihkan.Hiiiiiiiii. Kakinya yang dingin dan kaku selalu mengingatkan sehingga berakibat mengurangi gairah makan.
Empat belas hari kerja buruh ngecat selesai, kerjaan apa lagi ya.........?


Ada program pengerasan jalan di kampungku. Namanya rezeki......... Aku diajak ikut kerja disitu. Spiritas kerja begitu kuat terdorong ingin meringankan beban bapak.Jam 07.30 sudah dimulai sampai jam 16.00, diberi istirahat 1 jam dari jam 12.00 sampai jam 13.00

Berawal dari pegang cangkul untuk membuat adonan, sampai pegang mesin molem yang hanya berdiri dibelakang setang yang akhirnya diminta untuk mendamping anak direktur PT Rahayu dari Surakarta itu naik mobil mengambil pasir, semen dan koral. Tugasku hanya mengawasi, menghitung dan menemani sopir.
Tiga bulan dua kampung selesai dikerjakan pengerasan jalan. Pohon-pohon yang ditebang, akarnya harus dibongkar. Disamping kerja disitu , kayu-kayu yang aku tebangi boleh dibawa pulang. Tiap hari bawa pulang kayu dan tiap hari Sabtu gajian.
Setiap malam minggu alhamdulillah bisa ngajak makan mie ayam bareng bapak ibu dan adik-adikku. Terus kalau udah habis kerjaan apa lagi yang harus aku kuperbuat ?

Seminggu hari sebenarnya bukan hari libur bagiku, sebab bila tidak ada pekerjaan aku merasa bingung. Bila kondisi jiwaku sedang goyah aku bermain ke tempat mas Slamet untuk minta berdagang terompet.

Waktu itu aku bukan anak nakal, sehingga banyak orang menaruh belas kasihan. Aku bukan tipe peminta-minta, karena setiap kali aku diberi karena aku bekerja. Meskipun tanpa uang, aku diizinkan untuk memperjualkan dagangan.

Berjualan terompet..........laku atau tidak bukan urusan fikiranku, tetapi keinginan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman menganggur.

Bukan sebuah basa-basi. Dengan menjinjing kardus kecil yang didalamnya barang dagangan dan tangan kanan memegang terompet jadi yang siap dijual.

Naik bus selalu gratis, bukan hanya Candi Prambanan tetapi Gembiroloka, Borobudur dan meski hanya cukup sekali jalan, aku berani sampai Bonbin Wonokromo karena saya yakin bisa pulang bila sambil berdagang.

Tidak selamanya manusia selalu beruntung adakalanya seharian kerja hanya satu dua dagangan laku terjual. Hal itu pernah saya alami dari jam 08.00 berangkat jam 17.00 pulang tanpa makan, hasil hanya cukup untuk naik bis. Haruskah aku berhenti ? Lalu apa yang bisa aku kerjakan ? Dengan apa aku bisa membahagiakan bapak ibuku ?


Aku mencoba berjualan terompet..............

Sejak tanggal 26 Desember 1983 sampai tanggal 2 Januari 1984, aku tidak pernah pulang. Satu setel pakaian yang kupakai itu aku ditempat tetangga ( Mas Slamet, pedagang terompet )
Aku sangat yakin bapak ibuku bingung. Mengapa..........aku memang udah gak betah di rumah. Ingin membantu mencangkul, bapakku gak pernah puas usahaku mencangkul, karena bukannya mencangkul sebagaimana yang diharapkan bapak tetapi malah acak-acakan. Bantu ibu ........rasanya juga kurang pas karena ibu tidak/belum merasa membutuhkan. Di rumah serba salah, akhirnya harus mengambil sikap....HARUS KERJA.

Kebetulan aku ditawari jualan terompet ke Jakarta. Budaya tahun baru dan terompet sebagai khas tahun baru. Aku menyanggupi karena aku ingin mencoba mencari uang. Maka hari itu tanggal 26 Desember 1983 adalah hari pertama aku mulai mempersiapkan barang dagangan yaitu terompet yang bahan bakunya dari rol bekas obras yang dibeli mas Slamet di Mahditex sebelah selatan stasiun Kereta api desa Bendo, Buntalan Klaten.

Tanpa kenal lelah aku siapkan barang itu dari menggergaji rol (terbuat dari plastik) sampai mengecat. Begitu pula karton yang juga dari rol obrasan baju.
Tiga hari tanpa istirahat selesailah sudah 500 terompet siap dijual.
Kutata serapi mungkin, sehingga mudah membawanya. Dimasukkan ke karung plastik, kuangkut berdua menuju Bendo gantungan Tujuan Gombong. Start dari Klaten- Gombong tanggal 29 Desember 1983. Semalam di Gombong ( Rumah mertua mas Slamet ) selanjutnya perjalanan ke Jakarta, tujuan MONAS.
Terompet disimpan di WC kereta api. Tiket kereta salam tempel, damai dengan petugas. Segala urusan aku tidak pernah tahu baik modal bahan, transport dan makan aku tahu jadi. Tugasku nunggu karung berisi terompet dan tidur di WC bersama barang-barang itu. Tidak pernah tahu hiruk pikuk dalam perjalanan, entah berapa jam aku tidur setelah beberapa hari kurang beristirahat.

Hari pertama mengenal Monas dari dekat. Matahari belum sepenuhnya kelihatan hanya cahaya kemerah-merahan di langit menyambut datangnya pagi.
Di lapangan monas, waktu itu pohon pinang sebagai penghias terasa indah sambil nenikmati minum susu sembari duduk-duduk melepaskan penat menunggu detik-detik Tahun baru.
Waktu kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk merangkai bahan - bahan yang kami tata, untuk dijadikan dagangan siap pakai.

Mas Slamet memanfaatkan untuk istirahat, gantian sambil menunggu malam. Pukul 16.00 nampaknya tenagaku terasa habis, aku bergantian istirahat.

Tidak terasa perut mual, hanya kantuk yang amat sangat menghinggapi perasaanku. Tidak terasa malam sudah mulai tiba.
Terompet kujajakan di pinggir jalan dilapisi kain plastik 2 x 3 meter. Kami jaga berdua.
Pukul 19.00 pengunjung sudah mulai berdatangan. Bak air hujan turun dari langit, para pengunjung sudah mulai membeli silih berganti.
Di hari-hari biasa terompet dijual Rp.250,- di Tahun baru ini ternyata Rp.500,- banyak yang membeli.
" Berapa bang ? " tanya seorang gadis kepada kami. " Rp.500,- mbak...." " Aku minta satu bang, uangnya biar kakak yang bayar "
Akupun bingung kenapa menjawab " ya "
kakak mana yang membayar, sekian banyaknya orang yang mana yang dimaksud kakak ? eh ternyata aku ketipu.
Anak-anak kecilpun juga pinter-pinter. " Bang boleh aku nawar bang ? boleh Rp. 200,- ? " " Gak boleh dik ........"
Baru konsen menanggapi anak yang menawar, disudut sana ternyata pada ngumpetin. Wah ternyata copet penerus masa depan. Kecil-kecil ternyata sudah pada terampil

Meskipun ada keuntungan, resikopun juga mendampingi. Semakin malam mania terompet semakin banyak. Hargapun kami naikkan, memanfaatkan kesempatan. Kuangkat dengan harga Rp.750,- ternyata laris. Pukul 03.00 dini hari seluruh terompet terjual habis.
Aku mendapat bagian uang Rp.125.000,- uang ditahun 1984. Jam 06.00 pagi Awal Januari 1984 kutinggalkan Jakarta mengejar kereta pagi.

Di kereta api, sejak aku naik sampai kereta berhenti di Gombong aku tidak pernah tahu. Mati, pingsan atau tidur..........yang pasti begitulah kondisiku waktu itu.

Pendaftaran CPNS

Sejak lulus sekolah nampaknya satu cita-cita yang tersirat adalah bekerja. Sudah dua kali pendaftaran CPNS guru, tetapi belum juga berhasil. Alasan waktu itu periode lulusan yang diterima adalah lulusan tahun sebelumku.
Ada kabar kalau di Kanwil Jateng membuka pendaftaran CPNS guru, aku bertiga berangkat kesana.
Namanya saja anak-anak, ternyata Semarang merupakan tempat yang amat jauh ..........bayangan waktu itu. Aku mencoba untuk menengok berita itu langsung.

Setelah hampir lima jam perjalanan sampailah kami di Semarang. Beberapa menit perjalanan setelah turun dari Bis sampailah tujuan kami yaitu Kantor Dinas Propinsi Jateng Tengah.
Tidak tanggung-tanggung untuk mendaftarkan diri dalam mencari kerja yang akan kami inginkan adalah ketemu Bapak Kepala Dinas.

Mudahkah menemui beliau ? Banyak orang di kantor bilang, bapak tidak ada padahal disitu ada tulisan Kepala Dinas .....ADA. Aku tidak mudah percaya, sehingga terus mencoba minta diizinkan ketemu.

Ternyata ada yang lewat depanku menanyakan aku mau menemui siapa. Beliau bilang bapak ada saya disuruh masuk.
Tanpa tanggung-tanggung kami bertiga masuk.
Kami diterima dengan baik, ramah dan sangat menggembirakan.
Seperempat jam kami berbincang-bincang, menghasilkan sesobek kertas bertuliskan Kepada Sdr Kepala Biro Kepegawaian di Yogyakarta, tolong perhatikan anak - anak ini. Terimakasih ttd Drs.Karseno.

Wah............ bagai kesiram air hujan, setelah lama kepanasan. Akupun permisi dan segera meninggalkan tempat, Pulang.
Ternyata The Grazy memang orang bodoh, begitu juga kami bertiga. Mau bepergian itu bukan hanya persiapan berangkat saja tetapi persiapan pulangnya pun juga perlu. Yang dibawa kedua temanku uang ke Semarang saja, tetapi ongkos pulang tidak punya dengan alasan karena kesana mencari kerja. Sehingga dengan mendapatkan pekerjaan bukan hanya sekedar bisa makan, tetapi juga bisa pulang.
Apa akibatnya, bisa anda bayangkan. Justru sebaliknya yang didapat. Disamping lapar, sulit dibayangkan bisa sampai rumah.

Aku memang bukan orang pinter, tetapi keadaanlah yang mendidik kedewasaan. Kuajak teman-temanku ke Kantor Polsek, disitulah saya minta tolong diantarkan ke Klaten.
Beliau begitu kasihan melihat kami, langsung diajaknya kami ke jalan. Dihentikannya bis yang sedang melaju dan disuruhnya kami masuk. Seperti layaknya penumpang lain, kami juga diminta membayar. Saya bilang kalau saya yang menyuruh naik ke dalam bis adalah pak Polisi. Apa jawaban kondektur ? " Kamu itu waras apa gila, mosok naik bis aja harus minta dibantu polisi, dah turun-turun !!! " Dan akhirnya kami disuruh turun.

" Kamu itu waras apa gilalalalalala ..." menempel lekat ditelingaku.
Sambil duduk berfikir, suara " Kamu itu waras apa gilalalalalalalalalala....."selalu saja ingat.
Kami saling menyalahkan, kenapa tidak pada bawa uang. Namun alasan bodoh yang dipakainya tidak lain kecuali karena merasa yaqin dapat pekerjaan.

Kami duduk dibawah pohon beringin di Jatingaleh. Haus saja tidak terbeli air apalagi mikirin makan, tetapi petunjuk mulai ada. Inspirasiku hadir. Aku berdiri di lampu Bangjo (istilah waktu itu).
Ketika ada truck berhenti, aku langsung naik, teman-temanku bingung. " Cepat naik !!! mau pulang gak ? ". Merekapun mengikuti apa yang saya lakukan.

Lampu hijaupun menyala, truck yang kami tumpangipun berjalan.
Tetapi sekitar seratus meter kendaraan itu berhenti. Dua orang keluar dengan membawa besi bulat dan pukul besi dengan wajah yang menakutkan menyuruhku turun.
Aku berteriak lantang " Pukullah aku pak, pukullah .......aku hanya mau numpang pulang. Kalau bapak tidak boleh.... pukullah aku."
Aku mencoba meyakinkan, tetapi kami tetap diminta turun.
Sampai di bawah aku langsung dipegang tanganku. Pukul besi tepat di atas kepalaku. Kedua temanku diam dalam ancaman anak muda sebayaku yang bersenjata besi 60 cm-an.
" Pak, aku dari Klaten pak. Cari kerja tidak dapat dan kehabisan ongkos pulang. Kalau memang tidak boleh numpang ya nggak papa."
Pak sopir nampaknya percaya ucapanku, " Awas kalau kamu bukan orang baik-baik ........kusembelih !!, udah kamu ikut aku di depan dan dua temanmu itu biar di belakang. "

Dudukku diapit dua orang pemilik kendaraandi belakang setir, sedang teman-temanku di bak belakang. Sambil ditanya banyak hal, rupanya pak sopir bukan type pemarah. Aku diberi air minum dan tahu goreng yang dibawanya.

Disimpang Kartosuro, pak sopir menghentikan kendaraannya dan menyuruhku keluar. Rupanya beliau melanjutkan perjalanan ke Purwadadi.
Beruntung dengan air seperempat botol dan dua buah tahu goreng bisa membuat sedikit lega. Kedua temanku pucat pasi.Aku malu minta, apalagi buat orang lain.

Temanku yang kerja di STO (Sentral Telepon Otomatis) pernah bercerita bahwa telepon coin yang dipinggir jalan sering dibobol.
Keadaan memaksaku harus mencoba.Inspirasiku hadir hanya ada paku dijalan. Kuambiil paku dan kucoba. Keberuntunganpun juga hadir disaat yang sangat kami perlukan. Ternyata tidak perlu tenaga, baut kembang yang kuputar begitu mudahnya. Uang recehpun kelihatan............aman. Aku bisa makan, temankupun bisa makan. Kamipun pulang dengan membawa berbagai perasaan.

Ada banyak sisa untuk meniti masa depan.

Harapan Kosong


Surat dari bapak Kepala Dinas.........dibungkus amplop ada logo dan kop surat. Tidak hanya melambungkan angan-anganku, tetapi ibu bapakku seperti ikut terbang ke masa depan yang penuh kemudahan.

Janji sudah kami tentukan, yaitu dua hari sepulangku dari ibu kota propinsi Jawa Tengah itu menuju kota gudeg Yogyakarta.
Setelah kelihatan rapi, berangkatlah kami bertiga dengan membawa berkas yang disarankan bapak Kadin Jateng.
Sekitar satu setengah jam, kami sudah sampai tujuan, Biro Kepegawaian Yogyakarta. Disitu ada tulisan Biro Kepatihan Yogyakarta.


Setelah bertanya dan melengkapi persyaratan, kami dinyatakan diterima. Tujuan ke Fak -fak, Manokwari, Jaya wijaya Irian Jaya.
Surat Izin dari orang tua kami bawa untuk ditanda tangani bapak.
Tidak ada waktu yang kami sia-siakan. Sesampai di rumah langsung diisi dan ditanda tangani orangtua, pagi besok sudah berangkat lagi ke Yogyakarta.

Sebulan sejak memasukkan lamaran adalah waktu yang
kami tunggu. Temanku menjadi tiga orang, empat sekawan berangkat bersama dengan satu janji untuk menjaga persahabatan apabila sudah di Irian nanti.

Berkas yang perlu disipkan nampaknya sudah disiapkan. Dwi sudah menyampaikan persyaratan itu kepada teman baruku, Slamet. Jaka, Dwi dan Triono semoga slamet sampai tujuan.

Kami sampai di Kantor Biro Kepatihan. Aku mewakili bertanya kepada bapak yang ada di kantor itu. Jawaban begitu ingin segera kami temukan. Bapak Pimpinan belum hadir, kami disuruh menunggu di luar.
Satu jam, dua jam waktu yang panjang untuk sebuah jawaban.
Dipanggilnya kami untuk masuk. Kami menghadap bersama-sama.
" Begini ya mas..........yang berkeinginan ke Irian kurang dari 20 %, sehingga untuk sewa pesawat dihitung-hitung rugi. Saya minta bersabar. Tulis saja alamat kalian kesini ( blangko identitas ) kapan-kapan kalau ada semangat ke Irian saya beritahu .............."
oooooooooo gagal lagi, kami tidak lagi ada semangat. Jangankan bergeser dari tempat duduk. Bicarapun tidak lagi mampu untuk dikeluarkan.......Kami pulang, tak ada suara seceria tadi sewaktu berangkat.

JURTIK KUD

Dari sekian banyaknya pekerjaan aku memang tidak mencari, kecuali terompet tempatku melampiaskan kejenuhan. Diawali dari terompet, kuli bangunan jalan, ngecat Rumah Sakit, Buruh di SMP Muhammadiyah, Kernet colt Jogja Klaten sampai aku kerja di KUD semua dikarenakan perhatian tetanggaku yang mungkin merasa menaruh belas kasihan. Itu semua memang harus aku jalani, karena hati kecilku ingin jadi guru tetapi jalan kesana belum aku temukan.

Waktu itu baru dua kali gajian mingguan, borongan bangunan di SMP Muhammadiyah Klaten sudah selesai,aku terpaksa menganggur lagi. Sepulang dari kerja bangunan aku belum mandi diberi kabar ibu kalau tadi datang Om Sumadi (beliau bekerja di Kantor Koperasi Kabupaten Klaten) mencari dan titip pesan aku disuruh ke rumah beliau bila sudah pulang.

Setelah mandi aku berangkat ke rumah beliau, ternyata disuruh membantu menyelesaikan pekerjaan menulis untuk laporan RAT Koperasi Unit Desa Ketandan I Klaten. Selama empat hari pekerjaan memindahkan angka-angka dari kwitansi ke buku jurnal selesai. Nampaknya ada luapan perasaan puas melihat pekerjaanku beliau kemudian memberiku uang untuk jajan. Sore itu juga setelah aku selesai mandi diajaknya menghadap Ketua KUD sekaligus beliau meneger perusahaan kapas di KUD tersebut.

Setelah ketemu Bapak Soebardjo, beliau menawarkan pekerjaan di KUD tanpa menolak akupun langsung menyanggupi.
Minggu pertama aku merasa canggung dan agak berhati-hati dalam bekerja, karena angka yang aku tulis adalah keuangan koperasi sehingga harus tepat antara nominal di kwitansi dgn angka yang tertera di buku namun setelah minggu kedua dan selanjutnya sudah mulai terbiasa.

Tiga bulan sudah mulai merasakan hasil, karena tiap bulan pekerjaanku selalu di
teliti oleh bendahara KUD dan beliau selalu merasa puas. Pekerjaanpun mulai ditambah disamping konsep yang tertulis di buku, aku mulai dipercaya untuk memindahkan ke mesin ketik.

Aku dikirim ke Balatkop ( Balai Latihan Koperasi ) Semarang, tepatnya di Srondol Barat selama 10 hari untuk mengikuti Diklat Perindustrian. Dengan sangat disiplin kuikuti pelatihan agar hasil yang aku peroleh bisa meningkatkan kinerja di KUD.
Makanan yang disediakan benar-benar mengandung nilai gizi yang tinggi. Setiap pagi waktu dipergunakan untuk senam sekitar satu jam. Jam 12.00 sd 13.00 istirahat dilanjutkan sampai jam 16.30 untuk mandi dan sholat. Dimulai lagi pukul 19.30 sampai pukul 23.00.

Sepulang pendidikan dan latihan, ku ceritakan hasil yng kuperoleh kepada teman-teman di KUD. Bapak Ketua cukup puas mendengar ceritaku karena memang waktu itu ada kesempatan untuk pertemuan selama dua jam.

Aku dipindahkan bekerja di bagian listrik, karena unit pelistrikan kurang tenaga.
Selama disitu aku bisa cepat beradaptsi sehingga bisa meringankan beban Ketua Unit Listrik.

Meskipun hasil sudah aku peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kepuasan belum aku temukan, ingin rasanya jadi guru. Aku mulai malas.
Dua tiga hari dalam seminggu aku tidak berangkat kerja, menjadi perhatian tersendiri bagi orang tuaku akhirnya bapak menanyakan penyebabnya mengapa aku malas-malasan kerja. Kujelaskan pada bapak karena ada perasaan tidak puas kerja di KUD, keinginanku jadi guru sudah bulat.

Bapak memberitahu ada teman beliau dari Kodim 0723 Klaten yang mengikuti transmigrasi ke Sumatera, menurut penjelasannya di sana masih banyak peluang pekerjaan untuk jadi guru. Gayungpun bersambut, aku mau.

Seperti orang hebat, aku berangkat diantar ibu-ibu anggota pengajian Nuril Huda Damaran dengan berkendaraan roda empat. Mereka mengantarkan sampai agen penjualan tiket di Bendo Gantungan
Mobilpun parkir di depan rumah. Disaat mundur, bruaaaaaaaaaak bemper belakang menghantam pagar tembok depan rumah. Tembokpun hancur.
Ibuku mengiringi perjalananku dengan isak tangis, begitu pula sebagian ibu-ibu terpaku diam dalam perjalannan. " Ada apa ya ? " tanya hatiku. Saran dan nasihatpun juga terucap dari bapak-bapak yang kebanyakan sesepuh kampungku, akupun mengamini, mengiyakan dan mengangguk.

Bagaiamana di Sumatera................?

SUMATERA

Gumarang jaya, bis yang mengantarkan aku dan temanku Dwi Wuryanto ke Sumatera. Apa dan bagaimana serta dimana nanti merupakan renungan dalam perjalanan. Untuk menghilangkan perasaan takut dan lemahnya niat aku paksakan untuk tidur.

Merak pertama kali kukenal. Semua penumpang turun dari bus, sambil membawa tiket kami berbaris menuju kapal yang siap menyeberangkan penumpang ke Bakaehuni. Kurang lebih dua jam menyeberang, bumi sumatera menunggu kami.

Setelah menginjakkan kaki pertama kali di Bakaehuni, mendadak ada orang meneriakkan " Copet........copet, " sambil menunjuk anak yang berlari kearahku. Agak takut-takut, kaki kucoba menghalangi larinya. Anak itu menumbur tubuhku dan terpelanting jatuh. Tas i yang dibawanya dilempar ke arah anak sebayanya yang sudah siap disampingnya. Ditangkapnya tas itu selanjutnya anak tadi lari menyusup dikerumunan penumpang. Adapun anak yang terjatuh jadi amukan penumpang.

Nampaknya memang sudah ada sindikat di lingkungan itu. Seorang pemuda gondrong bertato melerai amukan massa dan menangkap anak itu. " Maaf kalian jangan main hakim pak, disini ada hukum. Biar kami urus anak ini ", kata pemuda tadi seakan petugas yang berpengaruh di pelabuhan.

Tidak terasa perjalanan kami sudah jauh. Menjelang maghrib bis yang kami tumpangi berhenti disebuah simpang tiga, yang terkenal dengan simpang Lasmin. Simpang ini dinamakan simpang lasmin, karena orang yang pertama kali menghuni disimpang itu Pak Lasmin yaitu seorang perantau dari jawa sudah lama disitu.Beliau membuka warung tempat para sopir mampir beristihat makan.
Bersamaan kami turun disitu seorang gadis seven teen dan ibu-ibu sekitar usia empat puluhan tahun. Rupanya juga penduduk transmigrasi searah dengan tujuanku.
Anak tersebut sekilas mengingatkanku setengah bulan yang lalu sebelum aku berangkat ke Sumatera.

Seorang gadis usia 17 tahunan bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri, tepatnya dekat terminal Klaten. Dia disamping mempunyai keahlian mengajar ngaji anak-anak juga terampil dibidang musik. Sambil sekolah dia mengabdikan diri mengajar ngaji dan membantu kesenian Qasidah ibu-ibu pengajian Nurul Huda di kampung kami. Dilaksanakan mulai pukul 2 siang sampai habis sholat isya' seminggu tiga kali. Berangkat dan pulang kami antar.
Sudah tiga bulan lebih pekerjaan itu ditekuni, semata-mata untuk pengabdian. Adapun honornya lima belas ribu rupiah, kami usahakan dari infak dan iuran anggota.
Apakah hari itu naasku atau justru awal dari keberuntungan. Malam itu aku mendapat jatah mengantarkannya pulang. Dengan motor Yamaha L2S aku antarkan Siti Mudrikah nama gadis itu pulang ke rumahnya di Desa Jogo Dayoh.

Semangat pasti ada, karena tidak biasa aku mengantarkannya. Biasanya aku menyiapkan peralatan latihan sedangkan soal antar jemput sudah disiapkan oleh teman-temanku.
Sampai disimpang STM Kristen Klaten ada tiga anak bujang melintas dijalan. Sepeda motor kujalankan pelan-pelan. Mendadak stang kanan ditarik dan aku terpelanting, jatuh. Belum sempat aku berdiri, anak itu memaki-makiku menganggap aku kurang hati-hati. Belum sempat aku menjawab, tangan kanannya sudah melayang dikening sebelah kiri. Belum hilang dari rasa kagetku mendadak punggungku dihantam kaki orang dibelakangku.
Aku mencoba bersabar, " Cukup mas ini ada masalah apa dengan saya ? " Belum aku mendapatkan jawaban tangan kanan lawan yang kuajaka bicara sudah mengarah kemukaku. Tangan ku tangkap dan kuletakkan ke pundakku, kutarik ke bawah. Anak itu menjerit. Sedangkan kaki kananku kuinjakkan keras kekaki kanannya. Saat yang bersamaan kaki temannya mengarah ke ulu perutku. Perhatianku pindah menghadapi lawan didepanku. Kakinya bisa kutangkap, sedangkan kakiku kuayunkan keras tepat dikemaluannya. Dua bujang tanggung sudah menemukan balasanku. Keduanya hanya sibuk dengan perasaan sakitnya. Satunya aduh-aduh menahan tangannya, sedang yang agak kecil mengaduh menahan rasa sakit kemaluannya.
Aku kaget..........kayu sebesar ibu jari kaki nyabet punggungku. Terdorong semangat ada gadis disampingku, rasa sakit bisa sedikit berkurang. Yang menonjol perasaan berani menghadapi resiko. Dua kali sabetan kayu mengenai punggung dan tangan kiriku. Sabetan yang ketiga, belum sempat diayunkan anak itu kuterjang dan jatuh. Nanggung......... aku salto dan jatuh tepat kakiku mengenai tangannya. Ketiganya lari sambil menahan sakit.
Satu anak tidak lagi mampu berlari, nampaknya tangannya patah.
" Apa salahku Mir, kok mas Joko yang gak tau apa kamu pukuli ?"
Aku menemui anak itu menanyakan masalahnya apa, kenapa harus mencegat perjalananku. Ternyata mereka anak-anak suruhan. Siapa biang keladinya sudah aku ketehui.
Sesampai dirumah Siti, aku menyerahkan anak itu kepada orang tuanya dan buru-buru pulang.
Tanpa basa-basi aku kembalikan motor kepada pemiliknya, seakan tidak ada apa-apa aku segera minta pamit.
" Ngapa ngelamun bang, ayo naik ! " Oh ternyata sudah ada truck yang biasa ngangkut ikan asin. Dengan mobil teruck itu aku melanjutkan perjalanan ke lokasi.........



15 Juli 1985, kurang lebih pukul 23.00 aku dan temanku Dwi Wuryanto memasuki rumah bapak Suroto yang mengantarkan kami ke Sumatera. Selama dua hari perjalanan sejak berangkat tanggal 13 Juli 1985 start dari Klaten Pukul 18.30. Meskipun capek dan badan berbau ikan asin, mengingat ada beberapa tetangga yang menengok kehadiran kami, terpaksa melayani ngobrol sambil bersandar di tempat tidur.
Setelah berbasa-basi dengan mereka, kurang lebih pukul 01.00 aku mandi di sumur tetangga menggunakan lampu badai untuk menerangi kamar mandi.
Sumur yang hanya dipagari kayu dengan tempat mandi papan, aku merasakan dinginnya air pada malam itu tetapi badan terasa segar. Selanjutnya kami tidur nyenyak, sehingga hari pertama di Sumatera diawali bangun agak siang.
Akivitasku selama dua minggu di rumah Pak Suroto, mencangkul, membakar kayu dan babat ilalang. Karena makan yang tidak teratur dan pekerjaan yang berlebihan membuat badanku kurus dan hitam karena panasnya udara.
Selama tiga belas hari perasaan kurang nyaman sehingga aku memutuskan untuk pindah dengan diawali kejadian yang tidak baik. Aku bekerja juga butuh makan, namun setiap kali makan disamping tidak memakai jadwal yang teratur harus kerja dulu meskipun tidak sarapan.
Aku mau ke Jambi rencana mencari saudara disana. Tetapi oleh Pak Asep ( RT ) tempat tinggalku waktu itu menahanku dengan alasan aku disuruh menenangkan fikiran terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan. Perasaan damai selama di rumah beliau. Sengaja kusibukkan membantu beliau sebagaimana aku membantu pekerjaan di rumah Pak Suroto. Karena makan dan istirahatku diperhatikan meskipun kerja keras badanku malah kelihatan sehat. ............

Setyawan Kecil


Dua bulan lebih aku berada di SP 3 ( sekarang Mekarsari ), Bapak Kalip orang ketiga yang berusaha membantu menahanku memberi jalan untuk sebuah pekerjaanku. Aku dikenalkan dengan teman-teman bapak yang mengikuti program Transad yaitu salah satunya Pak Darsim. Beliau mengantarku ke KUPT ( Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi ) agar bisa diterima ikut mengajar.
Alhamdulillah, disamping berijazah pendidikan guru disana juga perlu membuka sekolah. Tanpa kesulitan aku dan Dwi diterima jadi honorarium transmigrasi bidang pendidikan, untuk mengajar di SD.

Baru sekitar sepuluh bulan membuka sekolah, ada seorang gadis dari jawa melamar kerja di sekolah kami. Ternyata baru empat bulan berkenalan dengan ibu guru ini Tuhan memberi ridlonya untuk menjadi pedampingku. Tepatnya akhir Desember 1986 kami menikah dengan alamiah. Pesta dilingkungan hamparan padi yang sedang menguning.

Kehidupan mulai nyata, setelah kami menekuninya bersama seorang isteri. Tanpa persiapan modal hidup, hanya sebuah keberanian, keyakinan, ketekunan, kesabaran dan kebersamaan alhamdulillah tidak banyak kesulitan yang berarti.
Anak pertama karena kesetiaan isteri yang mengerti awal kesulitanku menafkahinya dan semangatku untuk hidup dan menghidupi keluarga, sebagai inspirasi yang dititipkankan istriku ke anak pertamaku .....SETYA. Karena laki-laki SETYAWAN harus ditulis dalam sejarah.

Setyawan kecil sering menangis, karena belum siap menemukan kesulitan. Tahun 1988 baru merasakan susu dari negara setelah akhir tahun. Baru sebentar tersenyum hadir adiknya merebut susu kakaknya. Tidak henti dia menangis. Hari-harinya dipenuhi dengan tangis. Aku harus bisa menghibur kedua anakku dan meringankan beban jiwa isteriku. Berangkat dan pulang sekolah berdua sambil mengasuh kedua anakku.

Tidak setiap orang gembira dan senang melihat kebersamaanku. Ada juga sifat iri melihat orang lain bahagia dengan caranya masing-masing. Akupun harus dipisahkan dengan isteri dan anakku. Aku dipindahkan kerja yang agak jauh dari tempat tinggalku. Baru bisa mengenal, tidak selamanya teman bisa menjadi sahabat. Adakala teman menjadi musuh yang terselubung yang sulit kita ketahui isi hatinya.

Tahun 1992 setelah enam bulan berpisah tempat kerja dengan keluarga, istriku memperoleh kabar baik. Dia diangkat menjadi CPNS. Disitu aku mencoba memahami kehidupan, ujian perlu diterima karena dibalik Alloh menguji sudah disiapkan sesuatu yang lebih baik, bagaima kita menyikapi, itu yang penting.........

Tri Boys

Aku sudah tahu harus bagaimana bila kedua anakku menangis. Aku gendong berdua dengan nyanyian. Kuajak mereka ke rawa bermain lumpur atau kuajak mereka naik sepeda keliling desa terkadang kuajak mandi di sumur.

Agar ibunya bisa terbantu dalam mengawasi anak, aku mencoba mengusulkan ada pembantu dirumah. E.....ternyata tidak bisa mengawasi justru kami harus selalu mengawasi. Ahirnya kusimpulkan mengangkat anak asuh. Sambil menyekolahkan anak yang bersangkutan, bisa membantu mengantar anak-anakku pulang pergi kesekolah.

Semuanya berjalan lancar. Anak angkatku bisa menyelesaikan sekolah di SMP, anak-anak juga ada yang mengawasi bermain.
Waktupun berjalan, kebiasaan mandi di kali atau bermain lumpur sampai adiknya lahir kebiasaan mencari ikan sebagai hobby.
Mereka lebih banyak mengkonsumsi protein hewani dibanding sayur mayur karena ikan hanya tinggal mengambil di belakang atau disamping rumah. Ternak ayamku banyak waktu itu, sehingga untuk kebutuhan konsumsi keluarga cukup.

Tiga laki-laki kami jadikan satu hati Trio boys, yang bisa mencuci, masak, menyapu dan apapun pekerjaan perempuan namun juga harus jadi laki-laki yang terbiasa dengan kesulitan hidup. Jadi laki-laki yang tidak mudah menyerah, tidak cengeng, tangguh dan sanggup menghadapi kehidupan. Sejarah hanya milik orang tua, mereka milik masa depan. Insya Alloh...........

MALAM YANG BERSEJARAH

        Tidak biasanya kedua anakku begitu bangga berfoto di depan kaca dengan gayanya yang kocak ( waktu itu belum lahir anakku yang ketiga ).Begitu juga tidak biasanya kucing putih tetanggaku  gelisah, masuk keluar kamarku dengn suaranya yang menyayat hati. Dan tak pernah  aku  tersentak dikala ada cicak jatuh di depanku, ketika  berbincang-bincang dengan iparku. Ada juga yang tidak pernah kualami, tetapi malam itu sempat kutemukan, ditengah malam ada tamu mengetuk pintu untuk meminta air minum. Tidak juga menjadi kebiasaanku, malam itu aku pergi nonton TV di tempat tetangga.
Seminggu itu begitu banyak hal-hal yang membuat aku heran dengan kejadian-kejadian yang kualami.Ada apa ........

        Manusia hanya sempat berpraduga, firasat apa yangAlloh berikan kepada hambanya hanya Beliaulah yang Maha Mengetahui.
Bulan itu bulan puasa, ketika aku diajak tetangga menonton TV di rumah pak dokter aku merasakan ada ketidaknyamanan dalam perasaanku. Gelisah dan ingin pulang. Namun perasaan juga tidak enak, karena yang mengajakku juga masih asyik memperhatikan film yang ditayangkan di TV. Dalam tayangan itu seorang anak yang menjadi polisi ingin menangkap bandar narkoba yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Karena begitu disiplinnya sebagai aparat negara, dia tidak ambil peduli siapa yang menjadi dalang pengedar narkoba.
Terjadilah baku tembak beberapa kawanan penjahat dengan para polisi yang pada akhirnya mampu melumpuhkan pimpinan penjahat yang tidak lain adalah bapaknya sendiri.

        Waktu menunjukkan pukul 23.10 aku mengajak tetanggaku pulang, karena film yang kami tonton juga sudah usai. Karena hanya sekitar 500 m dan juga kami tempuh dengan sepeda, maka tidak begitu lama kami sampai di rumah.  Ada perasaan aneh dikala memasuki rumah, jantungku berdebar-debar tetapi apa masalahnya aku sendiri tidak tau.
Tetanggaku yang mengantarkanku sampai rumah juga buru-buru balik,  ingat pintu rumahnya tidak dikancing serta perginyapun tidak pamit dengan istrinya karena sudah tidur.

       Meskipun ngantuk namun mataku belum mau kuajak tidur. Kembali malam itu dalam kesendirian aku duduk di ruang depan terdengar suara dengkuran istriku terasa begitu jelas, mengingat suasana begitu lengang.
Malam semakin larut, udara dingin mulai merayap kedalam tubuhku kupaksakan mata ini terpejam.
Setelah membaca do'a tidur kurebahkan tubuhku disamping istri dan kedua anakku.

      Aku terengah dalam perjalanan. Tak ada satupun pohon ataupun tumbuhan rumput, yang kulihat hanya hamparan kosong dan jalan terjal. Aku mendaki sendirian jalan yang begitu jauh seakan tak berbatas.
Aku berlari.......berlari dan terus berlari bagaikan ada yang kukejar. Tetapi nun jauh disana tak ada yang kucari namun yang kutemui  hanyalah  harapan semu. Aku ragu.......dalam keraguan untuk memilih. Kembali sudah jauh, bila dilanjutkan tidak kelihatan apa yang kucari, namun apa yang sebenarnya yang kukejar juga tidak aku ketahui.
Keringat membasahi tubuhku. Suara kucing membangunkan semangatku, semangat untuk terus berjalan.
Mendadak ada kucing melintas didepanku, memandang tak berkedip. Terlintas dalam benakku....ada firasat apa, mengapa kucing itu nampak begitu serius memperhatikanku.
Ketika perjalanan akan sampai, kulihat disana ada air terjun, aku dicegat oleh sekelompok manusia bertopeng. Mereka membawa berbagai macam senjata. Aku dikejar........aku berlari dan terus berlari. merekapun mengejarku sampai aku tertangkap. Tanpa ampun aku dipukulinya. Kedua kakiku dihantam  dengan sebilah kayu. aku menjerit minta tolong, tetapi tak satupun ada manusia yang menolongku. Aku jatuh kemudian mereka mengikatku. Mereka memaksaku untuk memberi uang dan terus memaksaku sambil memukuli wajahku.
Ternyata aku bukan bermimpi, tetapi aku menemui kenyataan. Perutku terasa mual, tidak tau bahwa aku sudah ditindih oleh seorang  manusia bertopeng dengan pisau disodorkan pada wajahku.
Aku berontak sudah tidak ada tenaga, tanganku sudah terikat kedua kakiku terasa nyeri , kepala juga terasa sakit.
Remang-remang kulihat wajah terselubung plastik menindih perutku dengan menodongkan pisau. Kedua anakku terlihat duduk terpaku disampingku, tak mampu berbuat apa-apa.
Aku berdzikir laa ilaha ilalloh, seakan tidak terjadi apa-apa sekali-kali kuberteriak minta tolong. Aku sempat mengajak kedua anakku untuk melakukan hal yang sama.
Kudengar dikamar depan istriku mengaduh, berontak dan berlari.
Tiada berapa lama, suasana lengang........sepi. Merekapun berhamburan pergi. Ternyata aku dirampok oleh sekelompok berandalan.

       Tiada berapa lama tetangga berdatangan menolongku, ketika para perampok sudah  pergi. Dengan senjata sabit, kayu dan lampu senter. Aku digendong oleh bapak Kepala Dusun, karena kakiku seperti sulit digerakkan. Begitu pula kedua anakku dipapah dibawa kerumah sekdes. Isteriku terkapar di kamar beliau ditunggui oleh bu sekdes dengan wajah berlumuran darah.
Pagipun datang, banyak orang datang mengunjungi kami. Diantaranya Pak Kades dan keamanan desaku.
Aku ditanya banyak hal, namun aku  menjawab tidak tau. Karena kejadian itu disamping gelap, juga begitu cepat terjadinya.............Saya hanya berharap semoga Alloh menyadarkan, mungkin mereka karena lupa bahwa hidup bukan untuk menyakiti...
 



0 komentar:

Posting Komentar

KAMUS BAHASA INGGRIS